Di Kalimantan, hiduplah satu suku yang memiliki ke-khas-an
budaya yang tidak dimiliki oleh suku yang lain di Indonesia. Suku tersebut
adalah suku Dayak. Tetapi yang disayangkan, kebanyakan generasi muda Indonesia
mengerti Dayak bukan dari ke-khas-an budayanya. Akan tetapi karena konflik
antar suku yang terjadi di tanah Borneo tersebut. Di sini, saya akan mengupas
sedikit tentang budaya suku Dayak yang sebelumnya telah saya dan kelompok saya
(Agatha,Reyza,Laras,Rifki,Hasan,Waris,Trio,dan Dita) presentasikan dalam makul
budnus di depan teman-teman kelas 3A dan ibu Woro Aryandini.
BUDAYA SUKU DAYAK
1.
Sejarah
Pendapat mengenai asal-usul suku Dayak sangat bervariasi. Menurut
pendapat umum, suku Dayak merupakan suku terbesar dan tertua yang telah
mendiami tanah Borneo.
Menurut kepercayaan suku Dayak sendiri, nenek moyang mereka itu berasal dari
langit yang ketujuh. Mereka diturunkan ke dunia dengan menggunakan Palangka
Bulau (tandu suci yang terbuat dari emas). Mereka diturunkan dari langit ke
dunia di empat tempat yaitu: di Tantan Puruk Pamatuan di hulu Sungai Kahayan
dan Barito, di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting), di Datah
Takasiang, hulu sungai Rakaui (Sungai Malahui Kalimantan Barat), dan di Puruk
Kambang Tanah Siang (hulu Barito). Dari tempat–tempat tersebut kemudian tumbuh
dan berkembang dalam tujuh suku besar yaitu: Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan,
Dayak Iban dan Hebab, Dayak Klemantan
atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum.
Sedangkan menurut pendapat Michael Coomans, suku Dayak berasal dari
daerah Yunnan di China Selatan. Mereka bermigrasi kira-kira pada tahun
3000-1500 SM. Pada buku sejarah Indonesia, kelompok ini dikenal dengan nama
Proto Melayu.
2.
Lokasi
Suku Dayak menetap di pulau Borneo atau yang dikenal dengan nama
Kalimantan. Mereka biasanya hidup di dekat sungai-sungai atau di hutan-hutan
pedalaman Kalimantan.
3.
Perilaku khas
Masyarakat Dayak adalah masyarakat yang sangat memegang teguh harga diri.
Mereka juga memiliki kekerabatan serta keterikatan yang kuat dengan tempat
asal. Mereka agak pemalu terhadap pendatang tetapi mereka sangat menghargai
orang lain. Selain itu mereka sangat menyatu dengan alam.
Tapi ada budaya yang sangat kejam yang mungkin sekarang sudah tidak lagi
dilaksanakan. Budaya tersebut adalah
budaya ngayau. Ngayau merupakan budaya untuk mencari kepala manusia. Ketika
kepala itu didapati maka keberanian, keperkasaan, kekuatan dan kehormatan akan
diperoleh dengan seketika itu juga. Setiap orang Dayak yang mampu memperoleh
kepala panglima suku atau orang yang terkuat dalam suku maka kekuatannya akan
dapat diperoleh. Orang Dayak tersebut akan dikagumi sebagai panglima. Kepala
panglima suku yang dipotong tadi akan dimakan dan tengkoraknya akan diawetkan.
Kepala tersebut sampai sekarang masih digunakan untuk tarian Noto'gh. Yaitu
menghormati/menghadirkan kepala manusia itu didepan umum pada saat selesai
panen.
Perempuan suku Dayak dianggap cantik jika mereka memiliki telinga yang
panjang serta bertatto di lengan, kaki, dan leher.
4.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak biasanya
berhubungan dengan alam seperti berburu, menangkap ikan secara tradisional, dan
meramu hasil hutan. Mata pencaharian paling khas yang dilaksanakan suku Dayak
adalah berladang. Mereka memiliki cara berladang yang unik karena tidak
ditemukan pada suku lain di Indonesia. Sistem itu biasa disebut sebagai sistem
berladang berpindah. Sistem berladang tersebut dilaksanakan secara berkelompok.
Biasanya oleh 12-15 orang.
Siklus pekerjaan ladang orang Kalimantan (Dayak) adalah sebagai berikut :
-
Pada bulan-bulan Mei, Juni atau Juli orang
menebang pohon dihutan;
-
Setelah penebangan, batang-batang kayu,
cabang-cabang, ranting-ranting serta daun-daun dibiarkan mengering selama
kurang lebih dua bulan;
-
Setelah itu (Agustus atau Septembar) seluruhnya
dibakar karena setelah itu musim hujan tiba, abu bekas pembakaran dibiarkan
sebagai pupuk;
-
Setelah itu tibalah waktunya menanam, kira-kira
bulan Oktober;
Di daerah tertentu pekerjaan ini dilakukan
secara gotong-royong, para laki-laki berbaris dimuka sambil menusuk-nusuk tanah
dengan tongkat tugalnya, sedangkan para wanita berbaris mengikuti di belakang,
sambil memasukkan butir padi ke lubang yang sudah dibuat oleh para lelaki.
-
Pekerjaan selanjutnya yaitu merawat serta
menjaga pertumbuhan bibit tersebut menjadi tanggungan rumah tangga
masing-masing;
Untuk keperluan ini, biasanya sebagian
atau seluruh anggota keluarga berdiam di Dangau sampai selesai panen nanti.
-
Diantara bulan-bukan Pebruari dan Maret, tibalah
musim panen
5.
Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan yang dianut suku Dayak adalah bilineal. Jadi mereka
menarik garis keturunan dari pihak ayah dan ibu. Dalam sistem pewarisan pun
mereka tidak membedakan antara anak lelaki dan perempuan.
Perkawinan yang ideal dan amat diingini adalah perkawinan diantara dua
orang yang kakek–kakeknya adalah saudara sekandung. Disebut hajenan dalam bahasa Ngaju. Juga dua orang saudara sepupu yang
ibu–ibunya bersaudara kandung, dan diantaranya cross–cousin.
Perkawinan yang dianggap sumbang (sala
horoi, dalam bahasa Ngaju) adalah perkawinan saudara sepupu yang
ayah–ayahnya adalah saudara sekandung (patri-parallel cousin).
Suku Dayak melarang perkawinan beda generasi, misalnya seorang gadis
dengan orang tuanya.
Orang Dayak Kalteng tidak melarang gadisnya menikah dengan laki–laki
“asing”(luar dayak) asalkan laki–laki tersebut bersedia tunduk pada adat dan
bersedia terus diam di desa mereka.
6.
Pola pemukiman dan sistem kemasyarakatan
Sungai adalah hal yang sangat penting untuk pemukiman suku Dayak. Karena
pola pemukiman masyarakat Dayak biasanya mengikuti alur sungai dan menghadap ke
sungai. Bentuk rumah mereka biasanya adalah rumah panggung yang panjang dan
bisa menampung banyak orang. Rumah itu disebut dengan Lamin dan Betang. Rumah
Lamin dan Betang berbentuk panggung agar tidak terkena oleh serangan binatang
buas dan aman dari banjir (karena rumah adat suku Dayak dekat dengan sungai).
Suku dayak memiliki sistem kemasyarakatan yang berlapis dan tiap suku
memiliki nama sendiri-sendiri. Untuk di daerah Tampun Juah (merupakan tempat
pertemuan dan gabungan bangsa Dayak yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic
group) terbagi dalam tiga Statifikasi atau penggolongan masyarakat, yakni:
-
Bangsa Masuka/Suka (kaum kaya/purih raja),
seseorang yang hidupnya berkecukupan atau kaya dan termasuk kerabat orang
penting/purih Raja
-
Bangsa Meluar (kaum bebas/masyarakat biasa),
seorang yang hidupnya menengah kebawah, tidak terikat masalah hutang piutang
dengan orang lain, atau bebas
-
Bangsa Melawang (kaum Miskin/masyarakat biasa),
kelompok orang yang hidupnya miskin dan terikat kontrak kerja, untuk membayar
segala hutangnya sampai lunas dan tak mempunyai kewajiban hutang lainnya
7.
Agama dan kepercayaan
Agama yang dianut oleh masyarakat suku Dayak yaitu Islam, Kristen, Budha,
dan Hindu Kaharingan. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Dayak pada
awalnya adalah “Hindu Kaharingan” yang berarti “air kehidupan”
(Koentjaraningrat, 1990). Suku Dayak yang beragama Hindu Kaharingan memiliki
upacara kematian sendiri yang disebut upacara Tiwah. Tiwah merupakan upacara
yang dilaksanakan untuk mengantarkan arwah orang yang telah meninggal ke Lewu
Tatau (sorga).
Agama Islam mulai berkembang sejak abad ke-XV ketika kerajaan Hindu
Mulawarman mengalami kemunduran. Agama Islam di Kalimantan berkembang dengan
pesat terutama di daerah pesisir selatan mulai dari Balikpapan di Kalimantan
Timur, Banjarmasin di Kalimantan Selatan hingga Palangkaraya di Kalimantan
Tengah. Orang Dayak yang memeluk Islam biasanya disebut sebagai orang Banjar.
8.
Kesenian
a.
Seni Tari
Tarian khas masyarakat Dayak diantaranya
adalah tari perang/kancet papata, tari gantar, tari enggang, tari hudoq, dan
masih banyak lagi yang lain (g apal).
b.
Seni musik
Alat musik yang biasa digunakan oleh suku
Dayak diantaranya adalah gendang, kadire (Alat musik tiup yang terbuat dari
pelepah batang pisang dan memiliki 5 buah pipa bambu yang dibunyikan dengan
mempermainkan udara pada rongga mulut untuk menghasilkan suara dengung), gong,
Sampe (Sejenis gitar atau alat musik petik dengan dawai berjumlah 3 atau 4),
dan masih banyak lagi yang lain (g apal lagi.hehehe)
c.
Seni rupa
Masyarakat Dayak memiliki banyak kerajinan
seni rupa. Biasanya dalam bentuk alat persenjataan. Diantaranya adalah mandau
(golok khas dayak), kelambit (perisai khas dayak), anjat (tas khas dayak), dan
sumpitan.
Selain yang di atas, suku Dayak juga sangat
menyukai seni menggambar tubuh atau disebut juga seni tatto. Motif tatto di
Dayak bermacam-macam. Biasanya juga menggambarkan status sosial orang tersebut.
Selain itu seni tatto Dayak juga dikenal sebagai salah satu seni tatto yang tua
karena caranya yang sangat tradisional dan menyakitkan.
9.
Kuliner
Karena suku Dayak memiliki sub suku yang bermacam-macam, maka suku Dayak
pun mempunyai kekayaan kuliner yang sangat banyak. Kuliner yang terkenal yaitu
soto banjar, pisang raja Pontianak (sejenis pisang goreng), sayur rotan, dan
tuak (minuman keras khas Dayak).
10.
Konflik Dayak dengan suku lain
Konflik yang terkenal di media adalah konflik antara suku Dayak dengan
suku Madura. Konflik ini timbul karena adanya pelanggaran adat yang dilakukan
oleh suku Madura. Sebenarnya, kebanyakan konflik yang terjadi dengan masyarakat
Dayak adalah ketidakpahaman suku pendatang dengan adat masyarakat Madura. Hal
ini mulai terlihat sejak dimulainya transmigrasi besar-besaran yang
dilaksanakan pada zaman pemerintahan presiden Soeharto. Pada saat itu banyak
transmigran asal Jawa yang dikirim ke Kalimantan. Memang pemerintahan memberi
bekal pengetahuan pertanian, peternakan, dan keahlian lain untuk hidup di tanah
Borneo. Tetapi para transmigran tersebut tidak diberi pengetahuan lebih banyak
tentang adat suku Dayak. Padahal sebenarnya mereka itu sangat pemalu dan
menghargai suku lain. Akan tetapi karena sikap mereka yang sangat ketat
terhadap adat akhirnya terjadilah konflik antar suku tersebut.
Selain
masalah di atas, masalah kepemilikan hutan adat yang tidak jelas juga sangat
riskan dan sangat rentan untuk menimbulkan konflik. Hal ini dikarenakan
perilaku masyarakat Dayak yang sangat terikat dengan tempat asal dan mata
pencaharian sebagian besar dari mereka yang melaksanakan ladang berpindah.