Pages

Thursday 3 January 2013

Ringkasan Budaya Tionghoa


Tidak bisa dipungkiri lagi jika Indonesia dan China memang memiliki hubungan yang baik. Hubungan baik tersebut tidak hanya dimulai dari sekarang. Hubungan baik tersebut -menurut beberapa sejarahwan- sudah dimulai sejak zaman pra-sejarah. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa penduduk asli yang mendiami nusantara ini berasal dari China (lebih tepatnya dari daerah Yunnan).
Agar hubungan baik tersebut tetap terjaga, tentu kita harus saling memahami budaya masing-masing. Jadi saya akan menuliskan sedikit pengetahuan yang saya dapat tentang suku Tionghoa. Pengetahuan ini saya dapat dari mata kuliah budaya nusantara di kampus dan pergaulan saya sendiri dengan beberapa orang suku tersebut. Semoga bermanfaat untuk para pembaca dan jika ada kesalahan saya mohon koreksinya J
BUDAYA SUKU TIONGHOA
1.       Sejarah
Kata Tionghoa berasal dari kata 中华 (zhong hua => dibaca cung hua) yang artinya adalah bangsa tengah. Berdasarkan berita China yang ditulis oleh Fa Hian dan I Ching disebutkan bahwa sejak sekitar abad ke 4 M banyak orang China yang datang ke Indonesia. Mereka ada yang datang untuk mengunjungi kerajaan Sriwijaya untuk belajar agama Budha, kerajaan Tarumanegara (disebut To-lo-mo dalam bahasa mandarin), kerajaan Kalingga yang diperintah oleh ratu Sima (untuk berguru agama Budha dengan Jnabhadra), dan berdagang dengan beberapa kerajaan yang ada di nusantara. Bahkan pada zaman Kubilai Khan pernah dikirim pasukan ke daerah Jawa Timur untuk menghukum raja Jawa (yang dimaksud adalah Kertanegara. Tetapi karena terjadi pemberontakan oleh Jayakatwang, akhirnya dimanfaatkan oleh raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Majapahit).
2.       Lokasi
Di Indonesia, suku Tionghoa sebenarnya menyebar di hampir seluruh daerah. hal ini dibuktikan dengan adanya kampung pecinan/kampung china di hampir setiap kecamatan di Indonesia. tetapi ada daerah dengan konsentrasi yang cukup besar. Daerah tersebut adalah Jawa, Kalimantan Barat, Sumatra, Bangka-Belitung, dan Sulawesi Selatan.
3.       Mata pencaharian
Mata pencaharian suku Tionghoa sangat bervariasi. Ada yang petani, peternak, pegawai pemerintahan, guru, dan lainnya. Tetapi kebanyakan suku Tionghoa adalah pedagang yang ulung. Mereka adalah orang yang sangat ulet dan tidak pernah kenal lelah saat bekerja. Menurut mitos yang pernah saya dengar dari bu Woro Aryandini (dosen Budaya Nusantara saya), orang China rajin bekerja karena takut dihukum dewa. Karena pada zaman dahulu, nenek moyang orang China pernah dihukum dewa dengan dipisahkan. Akhirnya si nenek moyang pun bekerja dengan giat. Lalu, sekian lama tidak bertemu menimbulkan rasa rindu di dada si nenek moyang. Akhirnya mereka pun menyuap dewa dengan makanan kesukaan dewa, yaitu kuaci, agar mereka bisa bertemu lagi. Itulah sebabnya orang China banyak yang sukses di usahanya. Karena mereka tidak segan-segan untuk menyuap penguasa agar bisnis mereka lancar. Hal ini bisa kita lihat pada film-film China seperti Once upon a Time in China (dibintangi Jetli), Police Story (Jacky Chan), dan film China lainnya.
4.       Agama dan kepercayaan
Agama mayoritas yang dipeluk oleh suku Tionghoa adalah Budha dan Nasrani. Tapi ada juga yang muslim. Kebanyakan mereka adalah keturunan suku Hui dari China. Ada juga yang memeluk Konghucu. Sebenarnya, konghucu bukanlah sebuah agama. Karena dalam agama konghucu tidaklah memiliki kitab suci. Konghucu lebih terlihat sebagai jalan hidup atau way of life orang China yang dibuat oleh Konfucius/孔子 (kongzi => dibaca gung-ce). Selain itu ada juga yang melaksanakan Taoisme. Way of life yang dibuat oleh Lao-tse/ 道士 (daoshi => dibaca dao-se).
5.       Sistem kemasyarakatan
a.       Stratifikasi sosial
-          Dalam masyarakat orang Tionghoa di Indonsia ada perbedaaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya.
-           Tionghoa peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari Tionghoa Totok karena menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah Tionghoa Peranakan karena mereka dianggap mempunyai darah campuran.
-          Sekarang ini, dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa menyebabkan anggapan bahwa orang yang tidak segolongan dengannya sebagai golongan rendah. Dengan kata lain, stratifikasi sosial orang Tionghoa di Indonesia berdasarkan perbedaan tingkat dan tingkat kekayaannya. Tapi untuk saat ini penggolongan tersebut sudah tidak ada lagi karena orang Tionghoa sudah berbaur. Bahkan mereka sudah banyak yang tidak bersekolah di sekolah khusus China lagi.
6.       Tradisi dan Budaya
a.       Budaya minum teh Tionghoa
Budaya ini mirip dengan upacara minum teh di Jepang.
b.      Memasang gambar dewa penjaga pintu
Dewa penjaga pintu ini sebenarnya adalah dua orang jenderal yang diutus oleh kaisar Li Shimin agar arwah raja naga yang berniat membunuh kaisar tidak berani masuk. Jika anda penggemar sinetron mandarin zaman dulu yang berjudul “Kera Sakti”, anda pasti akan tahu.
c.       Imlek
Imlek adalah perayaan masuknya tahun baru dengan pedoman bulan. Pada saat imlek, orang Tionghoa biasanya melaksanakan tradisi pulang kampung sama seperti muslim Indonesia saat Idul Fitri. Suku Tionghoa biasanya makan kue bulan, bagi-bagi angpau (amplop merah yang berisi uang), membunyikan petasan, atraksi barongsai dan liong, dan menyalakan lentera.
d.      Memakan Yuan Xiao(元宵)
Yuan xiao adalah memakai nasi yang lengket dengan diberi isi, seperti tepung kacang, bijan, daging ikan, dan lainnya. Yuan Xiao dipadatkan dengan diremas-remas lalu dibungkus daun bambu. Sehingga bisa menghasilkan kue nasi lengket yang hampir bulat dan dapat dimakan.
Memakan ini merupakan simbol kekuatan dan persatuan. Anda bisa melihatnya pada film Red Cliff 2.
7.       Pakaian adat
Pakaian adat suku Tionghoa disebut baju doudu. Lalu ada juga sepatu yang disebut dengan sepatu harimau. Dan pakaian khas yang dipakai oleh wanita Tionghoa yang disebut dengan Cheongsam.

Ringkasan Budaya Papua


Kali ini saya akan membahas tentang suku terakhir yang saya dan kelompok saya presentasikan pada saat makul Budaya Nusantara. Suku tersebut adalah suku Papua. Suku yang berada di wilayah paling timur Indonesia. Mereka adalah suku yang paling berbeda secara fisik dengan suku-suku lain di wilayah Indonesia. Penampilan fisik mereka yang paling khas adalah berkulit hitam dan berambut keriting. Namun, karena penampilan fisik mereka yang khas tersebut dan keteguhan mereka dalam menjaga adat, banyak orang yang kurang menghormati mereka. Sikap rasis ini mirip dengan konflik rasial antara kulit putih dan kulit hitam yang terjadi di Amerika.
Mungkin selama ini kita mengetahui Papua hanya karena koteka, tarian etniknya, perang antar suku, dan puncak Jaya. Itu masih sedikit dari kebudayaan Papua yang sangat banyak. Saya akan mencoba sedikit menjabarkannya dengan dasar presentasi kelompok saya dan tambahan sedikit dari saya sendiri. Jika ada kesalahan, silahkan dikoreksi ya.
Budaya Papua
1.       Sejarah
Kata Papua dalam bahasa melayu artinya adalah rambut keriting. Pada saat Papua masuk ke wilayah Indonesia (sebelumnya Belanda sempat mendudukinya pada zaman setelah kemerdekaan), nama daerah tersebut sempat berubah menjadi Irian yang menurut bahasa Merauke artinya adalah bangsa yang utama. Tapi ada juga yang memelesetkannya menjadi Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Penduduk asli  yang mendiami pulau Papua sebagian besar termasuk ras suku Melanesian, karena ciri-ciri seperti warna kulit, rambut, warna rambut yang sama dengan penduduk asli di bagian utara, tengah dan selatan yang memiliki ciri-ciri tersebut. Di bagian barat (Sorong dan Fak Fak) penduduk di daerah pantai mempunyai ciri yang sama dengan penduduk di kepulauan Maluku, sedangkan penduduk asli di pedalaman mempunyai persamaan dengan penduduk asli di bagian tengah dan selatan.
Banyak teori tentang masuknya suku Papua di Indonesia. Teori pertama menyatakan bahwa Papua adalah bangsa Proto-Melanesia yang masuk secara bergelombang ke wilayah itu. Selanjutnya berdatangan pula Bangsa Asia Paleo-Mongoloid dan bangsa-bangsa Negro serta Weddid ke Indonesia.
Teori kedua menyatakan bahwa bangsa Papua berasal dari migrasi yang dilakukan oleh ras austroloid dari daerah australia pada waktu asia dan australia masih bersatu dalam paparan sahul.
Sedangkan teori ketiga menyatakan bahwa suku Papua juga berasal dari ras negroid yang berasal dari afrika. Para ahli memperkirakan mereka melakukan migrasi pada tahun 2000 SM
2.       Lokasi
Suku Papua mendiami bagian barat pulau paling timur Indonesia yang diberi nama Papua. Papua merupakan daerah yang sangat luas dengan kondisi geografis yang bervariasi. Ada dataran rendah, pantai, sabana, bahkan tanah paling tinggi di Indonesia ada di pulau ini. Hal itu yang menyebabkan beraneka ragamnya budaya suku-suku di Papua.  
3.       Tipe masyarakat
Tipe masyarakat Papua ada tiga. Yaitu:
a.       penduduk lembah-lembah di Pegunungan Tengah yang hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan-hubungan keluarga luas. Mata pencaharian hidup yang pokok adalah bercocok tanam ubi dan keladi di ladang-ladang. Teknologi untuk membuat alat-alat hidup mereka masih asal zaman batu. Contoh masyarakat tipe ini adalah orang Dani.
b.      penduduk desa-desa di bagian pedalaman di daerah hulu sungai-sungai, biasanya hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan keluarga-keluarga luas (rata-rata 10-15 individu). Mata pencaharian mereka adalah meramu sagu dan berburu. Berburu dan mencari ikan di sungai merupakan pekerjaan sambilan. Contoh dari masyarakat ini adalah penduduk danau-danau, Papua bagian Utara.
c.       penduduk desa-desa di hilir dan muara-muara sungai dan penduduk pantai serta penduduk kepulauan. Mereka ini hidup dalam rumah-rumah kecil dalam hubungan keluarga-keluarga batih kecil yang bersifat amat individualistis. Mata pencaharian hidupnya adalah meramu sagu, berburu, berkebun dan mencari ikan dipantai atau di laut. Contoh masyarakat ini adalah penduduk Pantai Utara.
4.       Mata pencaharian
Untuk suku Papua yang masih di pedalaman, kebanyakan suku Papua bekerja sebagai nelayan, meramu sagu, berburu, berkebun, dan bekerja di produksi kopra rakyat.
5.       Sistem kemasyarakatan dan agama
a. Sistem Masyarakat Tor atau Bgu
        mengenal beberapa tokoh adat diantaranya :
-          Dmartemtua atau dmar, tokoh adat ini bertugas memelihara benda-benda suci yang di simpan di dalam nar atau belai-balai keramat dan memimpin upacara-upacara keagamaan yang ada sangkut pautnya dengan pemeliharaan benda-benda suci tersebut.
-          Ondowafi, tokoh adat ini tugasnya mengawasi pembukaan tanah ulayat oleh pengembang menyaksikan transaksi tanah atau hutan–hutan sagu dan sebagainya.
-          Korano, tokoh adat ini dianggap sebagai orang yang bertugas meneruskan perintah dan instruksi dari pemerintah, tokoh adat ini harus bisa membaca dan berpengalaman berhubungan dengan orang luar.
b. sistem masyarakat dani
Suku Dani tinggal dalam kelompok-kelompok yang masih memiliki hubungan kekerabatan dalam sebuah usilimo/sili. Beberapa sili yang berdekatan biasanya memiliki kedekatan hubungan kekerabatan. Kelompok sili yang terbentuk karena hubungan darah atau yang terbentuk atas dasar persatuan teritorial dan politik membentuk kampung.  Kampung dipimpin oleh seorang Kepala Suku didampingi seorang Panglima Perang.
Teritorial permukiman Suku Dani terbagi atas tiga wilayah. Daerah terluar adalah hutan di bawah “kewenangan pengelolaan” suatu suku. Batas pengelolaan kedua adalah ladang. Yang ketiga adalah Usilimo/sili merupakan zona inti permukiman Dani, yang dihuni oleh sebuah keluarga. Usilimo terbentuk dari hutan yang sudah dibuka, diolah dan ditata menurut jalinan potensi alam dan sosial budaya lokal.
Sebagian besar penduduk Papua adalah pemeluk agama Kristen. Namun selain agama Kristen ini, penduduk Papua juga ada yang memeluk agama Islam ataupun Katolik. Sebuah  pulau yang terletak di teluk Doreh, selatan Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat menjadi sebuah titik penting penyebaran agama Kristen di Papua. Pulau tersebut bernama pulau Mansinam. Sedangkan agama islam banyak dianut oleh penduduk asli papua di daerah fakfak dan sorong.
6.       Pernikahan
Orang Papua (Biak) mengusut keturunannya melalui garis ayah, jadi bersifat patrilineal. Sedangkan tipe pokok kekerabatan yang dianut menuurut pembagian yang dibuat oleh Murdock adalah sistem Iroquois, yaitu penggunaan satu istilah yang sama untuk menyebut kelas kerabat tertentu. Misalnya istilah naek digunakan untuk saudara-saudara kandung dengan sudara-saudara sepupu paralel (anak-anak saudar laki-laki ayah, dan anak-anak dari saudara perempuan ibu), yang berbeda dari istilah napirem untuk menyebut semua saudara sepupu silang (anak-anak dari saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara laki-laki ibu) pada generasi Ego. Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah disebut juga dengan istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu disebut, sna. Sebaliknya semua saudara perempuan ayah disebut bibi, dan semua saudara laki-laki ibu disebut paman.
Dalam kaitannya dengan pengklasifikasian anggota kerabat seperti tersebut di atas adalah adanya larangan perkawinan antara saudara-saudara sepupu, baik saudara-saudara sepupu sejajar maupun saudara-saudara silang. Larangan tersebut merupakan ketentuan adat yang menetapkan perkawinan tersebut sebagai perkawinan incest.
Jenis-jenis pernikahan adat di Papua adalah sebagai berikut:
a.       Perkawinan Murni (Farbakbuk Bekaku)
        Jenis perkawinan ini dipandang sangat terhormat dikalangan masyarakat biak karena memenuhi syarat-syarat utama norma adat byak. Terdapat penonjolan harta kekayaan , kemampuan memberi mas kawin, disiplin dalam soal tepat waktu melunasi maskawin dalam pelaksanaan pesta perkawinan adat yang bersangkutan.
b.      Kawin Lari ( Parbakbuk Bebur)
        Jenis perkawinan ini terlaksana sebagai wujud dari niat seorang laki-laki / atau perempuan tidak direstui oleh pihak keluarga karena pihak keluarga mempunyai calon lain diluar keinginan kedua orang tersebut. Bila terjadi seperti itu, maka wanita yang mengambil keputusan lari kawin disebut Farbakbuk Bin Berbur perempuan yang lari kawin). Sebaliknya kalau wanita (perempuan) tidak berani lari kawin, maka laki – laki yang mengambil inisiatif merampas wanita tersebut dari keluarganya disebut Farbakbuk Pasposer ( perkawinan karena perampasan), Perkawinan adat, jenis ini prosedurnya jauh berbeda dengan proses perkawinan tersebut diatas karena sifatnya terpaksa dan mengundang emosi keluarga pihak perempuan, maka biasanya maskawin yang diminta oleh pihak perempuan pun mahal (Dua kali lipat) karena sanksi adat.
c.       Perkawinan Pergantian Tungku (Farbakbuk Kinkafsr)
        Jenis perkawinan ini dapat di setujui kalangan masyarakat adat Biak untuk diberlakukan khusus bagi seseorang laki-laki yang apabila istri pertamanya telah meninggal, maka adik kandung yang sudah genap usia kawin, dibenarkan kawin dengan kakak iparnya agar hubungan kekeluargaan yang ada tetap berlangsung terus. Proses perkawinannya, biasanya tidak diacarakan tetapi langsung menjadi istri (Suami – Isteri) artinya cukup dengan mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga yang bensangkutan dan maskawinnya terserah dan kepada kemampuan pihak keluarga laki-laki dan tidak dipaksakan.
d.      Perkawinan Pengganti Korban Pembunuhan (Farbakbuk Bin Babyak)
        Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat Biak termasuk perkawinan luar biasa.Karena wanita diberikan oleh keluarga pihak pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang menjadi korban sebagai pengganti dengan maksud agar wanita tersebut kelak dalam perkawinannya melahirkan seorang anak sebagai pengganti korban dan selain dari itu berfungsi sebagai alat perdamaian dan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan diantara kedua keluarga yang bersangkutan serta menghilangkan dendam kusumat. Proses perkawinan adat ditiadakan termasuk maskawinnya dengan catatan bila dikemudian hari bila melahirkan seorang anak wanita dan ada maskawin, maka maskawinnya separuh / sebagian diberikan kepada keluarga korban sebagai tanda.
e.      Perkawinan Hadiah Perampasan Sebagai Budak (Tarbakbuk Women)
        Jenis perkawinan ini ada pada masyarakat Biak tempo dulu.  Sekarang sudah tidak ada lagi, dan mungkin sekali masih terdapat dikalangan masyarakat didaerah terpencil dipedalaman Papua atau didaerah-daerah terisolir pada lembah-lembah barisan pegunungan tengah Papua. Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat byak “tempo doeloe” terjadi bila marga-marga disuatu kampung menyerang kampung lain karena suatu sebab khusus, sebab khusus itu antara lain:  Kampung itu pernah diserang oleh kampung yang bersangkutan (Balas dendam). Kampung yang bersangkutan dicurigai sebagai mata-mata yang memudahkan kampung mereka diserang. Kampung yang bersangkutan dinilai berpeluang potensi ekonomis. Kampung yang bersangkutan dinilai letaknya strategis guna mengatur teknik penyerangan dan darat maupun dan laut.
Proses pernikahan tiap suku pun berbeda-beda. Di sini saya mengambil dua contoh. Yaitu suku Biak dan Dani.
a.       Biak
-          PEMINANGAN (FAKFUKEN)
                Pada tahap awal ini paman dan tante dan anak laki-laki calon suami melakukan pendekatan dengan keluarga pihak perempuan calon istri untuk menyampaikan niat keluarga laki-laki dan aturannya harus 3 (tiga) kali datang meminang. 
-          MASKAWIN (ARAREM)
                Setelah melalui tahap  peminangan adalah penentuan besarnya maskawin pada masyarakat biak yang disesuaikan dengan beberapa kriteria yaitu: Jumlah besar atau kecilnya keluarga perempuan, Status sosial yang disandang keluarga perempuan, dan Kecantikan / kepribadian/ perawan.
-          PROSES PENYERAHAN MASKAWIN (YAKYAKER ARAREM).
                Pada tahap ini maskawin diantar kekeluarga perempuan melalui suatu upacara arak-arakan yang disertai tari dan lagu Penyerahan maskawin dibagi dalam 2 (Dua) bagian yaitu: Bagian I dari Om / Tante / Familie dalam satu barisan tersendiri yang bertanggung jawab menyerahkan bagian dari maskawin yang disebut “Abobes Kapar” (Lepas pendong) kepada ibu kandung dan anak perempuan. Bagian II terdiri dari maskawin “Baken” (Inti) berada dalam satu barisan yang terdiri anggota keret / anggota keret lain yang terkait hubungan kekerabatan.
-          PERNIKAHAN (WAFWOFER)
                Sebelum menikah ada proses upacara inisiasi (Ramrem), untuk mendapatkan restu keluarga (Legalitas). Setelah tahap ini, kedua mempelai laki-laki dan perempuan dipersatukan dan upacara penikahan ( Waiwofer) diberlakukan oleh sesorang tua adat / keret atau oleh seseorang mananwir (Kepala keret / marga / clen) dengan cara meniup asap rokok keatas tangan calon suami-isteri yang sedang berjabat tangan sambil mengucapkan kata-kata pengukuhan nikah adat di hadapan kedua calon suami-isteri, dihadapan keluarga kedua pihak dan disaksikan “TUHAN DI SORGA” DAN BUMI YANG DIPIJAK, nikah adat ( Wafwofer) ini dinyatakan sah dan tidak dibenarkan untuk dibubarkan oleh siapapun dengan alasan apapun.
-          UPACARA PENYERAHAN PEREMPUAN (CALON ISTERI) KEPADA LAKI-LAKI (CALON SUAMI) (YAKYAKER).
                Keluarga membawa pulang istri kembali kerumah, kemudian keluarga pihak perempuan sudah menyiapkan harta benda keluarga / keret berupa “Perabot rumah tangga” sebagai oleh – oleh perempuan, lalu upacara penyerahan kembali perempuan oleh keluarga perempuan kepada suami , proses ini disebut “Yakyaker tahap pertama (I). Biasanya tahap ini berlangsung cepat dan tidak perlu diadakan pesta khusus lagi dan dengan demikian maka istri tersebut secara resmi menjadi milik laki-laki Suami dan keluarganya untuk selama-lamanya dengan status isteri sah. 
-          UPACARA PESTA ADAT (WOR)
                Tahapakhir dari proses perkawinan (Farbakbuk) adat biak yang dilalui setelah “rumah tangga baru” ini berlangsung beberapa waktu lamanya. Biasanya kedua pasang suami/isteri sudah mendapat anak-anak maka kepada Suami dan keluarganya wajib memberi ongkos tertentu berupa “makanan dan minuman” khas biak (keladi , bete, petatas, sayuran, ikan, daging babi, dan lain-lain sejenis) serta pula benda berharga lain.
b.      Dani
-          Lamaran oleh ayah namun saudara-saudaranya yang menyampaikan kata-kata penerimaan lamaran itu.
-          PESTA BABI
Kira-kira satu bulan sebelum pesta itu keluarga pemuda menghadiahkan beberapa ekor babi kepada saudara gadis itu; babi-babi itu kemudian diteruskan kepada saudara ibu gadis itu. Sisanya akan disembelih pada hari-hari pesta itu.
-          Pemimpin mengambil sepotong kecil daging babi dan membuat suatu garis di antara payudara gadis itu. Dia menyebutkan beberapa jenis udang, yang selama pesta itu tidak boleh dimakan oleh gadis itu. Kemudian dengan sebuah batu panas dia menyentuh daging, yang sudah ditentukan untuk gadis itu guna mencegah dia jangan sampai menjadi sakit.
Kalau makanan sudah masak maka berlangsunglah penyerahan hadiah-hadiah kepada gadis-gadis itu di halaman di depan rumah kaum pria; hadiah-hadiah itu ditumpangkan di kepala gadis-gadis itu, sampai-sampai mereka seperti tertimbun hadiah-hadiah itu.
-          Sebagian dari daging, yang bercucuran tetesan lemak ditaruh di muka gadis-gadis yang duduk berkeliling di dalam dapur. Daging itu lalu dipotong-potong dan diberi kepada ayah para mempelai perempuan dan para pemberi jala-jala dan pita-pita dengan menyebutkan nama-nama mereka. Menjelang malam hari gadis-gadis itu memakai tali manik-manik yang ketat yang menjadi penutup aurat dan menerima tongkat penggali yang baru. Mulai sekarang mereka disapa dengan perkataan "wanita yang sudah menikah".
-          Mempelai diarak ke rumah ibu suaminya. Beberapa saat kemudian para pengantar kembali ke rumah. Baru beberapa hari kemudian suaminya datang. Mereka duduk bersama-sama, saling memberi makan dan dengan itu terbukalah peluang untuk adanya hubungan yang intim.
7.       Upacara kematian
a.       Upacara Kematian Masyarakat Tor atau Bgu
        Masyarakat pantai utara percaya bahwa jiwa orang mati akan melepaskan dari tubuh menjadi roh secara berangsur-angsur. Dalam proses itu ia masih berada di sekitar rumah tepat tinggalnya. Itulah sebabnya keluarga orang yang meninggal diasingkan dalam rumah supaya tidak menulari masyarakat sekitar dengan nuansa kematian dari orang yang meninggal itu. Setelah kepka lepas, maka ia akan pergi ke alam baka yang dipercaya berupa suatu gunung yang bernama gunung Tardongasau.
b.      Upacara Kematian Masyarakat Dani
        Menurut adat masyarakat suku Dani, jenazah orang yang meninggal tidak dikuburkan, namun dikremasi atau dibakar dengan upacara adat. Upacara adat ini biasanya berlangsung selama 40 hari, yang dilakukan di halaman Sili atau di depan Pilamo.
        Sebelum dibakar famili terdekat memotong jari dan telinga sebagai tanda berkabung, dan nanti dikumpulkan bersama-sama abu jenazah yang dibungkus dengan kulit kayu, kemudian digantung. Pembakaran mayat sampai kini masih berlaku, kecuali pemeluk agama Kristen. Mereka menanam abu jenazah ke dalam lobang yang digali di tempat itu juga dan sekitarnya ditanami bunga-bungaan.
        Selama upacara adat ini berlangsung, sejumlah hewan dikorbankan kemudian bagian ekor dan telinganya dipotong dengan sebilah bambu, yang kemudian ditempatkan di dalam Honai, sebagai simbol dari leluhur (sumber kehidupan, kebudayaan, kesuburan dan keselamatan).
        Tubuh mereka dibaluri dengan tanah liat merah, sebagai tanda duka yang dalam atas berpulangnya orang yang mereka cintai.
        Ada pula yang diawetkan dijadikan mumi. Biasanya hanya orang-orang tertentu yang berhak dimumikan. Seperti orang yang dianggap pahlawan, karena banyak berjasa dalam perang antar suku sepanjang hidupnya. Bisa jadi mereka adalah kepala suku atau panglima perang.
8.       Upacara Barapen (bakar batu)
Upacara ini dilaksanakan dalam acara-acara adat mulai dari simbol perdamaian saat terjadi perang antar suku sampai peresmian gedung dan pesta adat lainnya
Prosesnya:
-          Batu dibakar hingga panas
-          Batu yang sudah panas dimasukkan dalam lubang yang sudah dialasi daun pisang,lalu ditutup dengan daun pisang lagi, lalu bahan makanan dimasukkan, ditutup dengan daun pisang,lalu ditaruh batu lagi di atasnya
-          Setelah matang, makanan dibagikan dan dimakan bersama
9.       Pakaian adat
Suku Papua memiliki rumah adat yang bernama honai. Di dalam rumah adat tersebut, satu keluarga tinggal bersama hewan peliharaannya (babi). Bangunan honai berbentuk silinder diperuntukkan sebagai tempat ngeriung (di lantai bawah) dan tidur (di lantai atas). Berpintu satu dan memiliki perapian di tengah-tengah sebagai penghangat ruangan. Baik lantai atas maupun bawah ketinggiannya tidak sampai setinggi orang dewasa sehingga penghuni dewasa harus berjalan dengan membungkuk. Untuk menuju lantai atas disediakan tangga. Satu-satunya penerangan hanyalah bara perapian. Bentuk bulat honai dimaksudkan untuk menahan terpaan angin yang kencang dan gempa yang sering menimpa daerah Jayawijaya.
Selain rumah adat, pakaian suku-suku di Papua juga khas. Kebanyakan berbentuk cawat untuk menutup aurat laki-laki maupun perempuan. Sedangkan sebagai bra, biasanya mereka membuatnya dari anyaman daun sagu muda yang disebut peni atau samsur. Tali pengikatnya dibuat dari akar pandan, disebut tali bow. Dan peni, dahulu, hanya dipakai oleh istri panglima perang. Yang paling khas lagi adalah suku Dani. Untuk kaum lelakinya, mereka hanya mengenakan penutup kemaluan yang disebut dengan nama koteka. Koteka dibuat dari kalabasah, sejenis labu Cina. Ada tiga pola penggunaan koteka, yaitu tegak lurus: menandakan bahwa pemakainya adalah "pria sejati". Makna simbolik lainnya mengisyaratkan, pria yang memakainya masih perjaka. Jika koteka tersebut miring ke samping kanan memiliki makna simbol kejantanan, bermakna bahwa penggunanya adalah pria gagah berani, laki-laki sejati, pemilik harta kekayaan yang melimpah, memiliki status sosial yang tinggi atau mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. Miring ke kanan menandakan kekuatan bekerja, keterampilan memipin, dan pengayom rakyat. Sedangkan, jika miring ke samping kiri memiliki makna pria dewasa yang berasal dari golongan menengah dan memiliki sifat kejantanan sejati. Juga menunjukkan pemakainya adalah keturunan Panglima Perang (apendabogur).
Selain itu, suku Papua juga memiliki tas khas yang telah diresmikan PBB sebagai salah satu warisan dunia yaitu noken.
10.   Tari dan musik
Papua memiliki beberapa tarian tradisional. Tarian yang mereka miliki diantaranya adalah tari perang, tari yosi pancar, tari gatsi, dan tari ular.
Sedangkan untuk produk budaya dalam bidang musik, mereka mempunyai alat musik yang khas seperti tifa, harpa mulut(terbuat dari bahan bambu. Dibuat dua lubang irisan sepanjang sepotong batang bambu sampai di bagian simpulnya. Lubang irisan di tengah adalah yang terpendek dan tersempit. Bagian sisi harpa yang tersempit digulung dengan tali serat, mungkin serat kulit kayu, agar keseluruhan alat tetap utuh tak berantakan. Pada sisi harpa yang terlebar terpasang seutas tali pendek untuk menghasilkan nada-nada bervariasi. Harpa mulut ditempatkan di mulut dan harus ditiup untuk menghasilkan bunyi. Di masa lampau fungsi sebuah harpa mulut adalah untuk memberitahukan kepada seorang gadis bahwa dia sedang digemari), dan sneelhorn (terompet khas Papua). Mereka juga memiliki lagu daerah yang sangat terkenal dan bahkan sudah tersebar di seluruh Indonesia. Diantaranya adalah apuse dan yamko rambe yamko.
11.   Perang
Berbicara tentang budaya Papua, berarti berbicara tentang perang. Karena perang antar suku merupakan budaya yang bisa dibilang lumrah terjadi di Papua. Perang biasanya terjadi karena pelanggaran adat atau karena babi. Dalam budaya Papua, babi merupakan hewan peliharaan yang hampir pasti tiap rumah memilikinya. Jika babi milik satu sudah terlalu banyak dan babi suku tersebut ketahuan berada di wilayah suku lain, mereka bisa saja berperang karena hal tersebut. Dan jika mereka sudah berperang, jumlah korban tiap suku harus sama. Jika jumlah korban tetap tidak sama dan dicapai kesepakatan damai, mereka biasanya berkumpul bersama untuk melaksanakan upacara bakar batu/barapen. Dalam upacara tersebut, babi-babi tersebut akan dibakar sehingga jumlah babi pun berkurang.
Karena perang menjadi budaya orang Papua, maka seni persenjataan adalah hal yang pasti berkembang. Senjata-senjata yang mereka gunakan biasanya adalah tombak, panah, dan belati.
12.   Kuliner
Kuliner paling khas dari Papua adalah papeda. Papeda atau bubur sagu, merupakan makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua. Makanan ini terdapat di hampir semua daerah di Maluku dan Papua. Papeda dibuat dari tepung sagu. Papeda biasanya disantap bersama kuah kuning, yang terbuat dari ikan tongkol atau ikan mubara dan dibumbui kunyit dan jeruk nipis. Mayoritas makanan Papua adalah olahan ikan sesuai lokasinya yang dekat laut.
13.   Isu Papua saat ini
Papua saat ini memiliki banyak isu yang harus diluruskan. Isu-isu tersebut diantaranya adalah:
a.       Separatisme
Akar separatisme di Papua adalah ketidakadilan. Sebagaimana penyebab separatisme di tempat lain, ketidakadilan distribusi pendapatan adalah hal yang sangat jelas terlihat di Papua. Seperti yang kita tahu, Papua adalah tanah yang kaya. Hal ini terlihat dengan makmurnya Freeport yang telah lama bercokol di Tembagapura. Freeport semakin kaya tapi masyarakat di sekitar daerah tersebut malah tidak ada kelihatan makmurnya. Efek dari penambangan tersebut adalah rusaknya ekosistem alam di sekitar area penambangan tersebut. Padahal orang Papua biasa mencari nafkah di sekitar area penambangan tersebut seperti dengan berburu atau mencari ikan. Tapi karena rusaknya hal tersebut, akhirnya mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah yang memicu timbulnya separatisme di Papua.
Selain hal di atas, ada juga yang beropini bahwa separatisme tersebut sengaja ditimbulkan oleh Amerika. Karena dengan terpisahnya Papua dari Indonesia, Amerika akan semakin mudah untuk mengontrol kekayaan alam Papua.
b.      Kesehatan
Kesehatan masyarakat Papua termasuk yang buruk di Indonesia. Hal tersebut merupakan dampak modernisasi lingkungan seksual Papua di antaranya komersialisasi hubungan seksual, konsep dan perilaku baru, perubahan struktur perkawinan dan tanggungjawab keluarga. Efek modernisasi menyebabkan seks komersial lebih tersebar luas melalui mobilitas ke kota. Ini didorong hal-hal baru seperti film porno dan minuman keras. Sebuah penelitian yang dikomandoi Lesslie Butt Ph.d, seorang peneliti Aksi Stop AIDS Family Health International (ASA/FHI) bekerja sama dengan United State Agency for International Development (USAID) dan Lembaga Penelitian Universitas Cendrawasih menggali hubungan antara rata-rata infeksi HIV/AIDS dan kebudayaan dan perubahan sosial di Papua. Alasannya sejumlah penelitian menyebutkan bahwa 97 persen faktor penyebaran HIV/AIDS di Papua melalui hubungan seksual. Propinsi ini memiliki prevalensi kasus HIV/AIDS paling tinggi di Indonesia.
Selain karena modernisasi lingkungan seksual tersebut, adat khas Papua yang berkaitan dengan perang dan darah (seperti saat pesta pernikahan atau kematian) juga berpengaruh. Karena seperti yang kita tahu bahwa AIDS maupun HIV bisa menular melalui darah.

Ringkasan Budaya Suku Dayak


Di Kalimantan, hiduplah satu suku yang memiliki ke-khas-an budaya yang tidak dimiliki oleh suku yang lain di Indonesia. Suku tersebut adalah suku Dayak. Tetapi yang disayangkan, kebanyakan generasi muda Indonesia mengerti Dayak bukan dari ke-khas-an budayanya. Akan tetapi karena konflik antar suku yang terjadi di tanah Borneo tersebut. Di sini, saya akan mengupas sedikit tentang budaya suku Dayak yang sebelumnya telah saya dan kelompok saya (Agatha,Reyza,Laras,Rifki,Hasan,Waris,Trio,dan Dita) presentasikan dalam makul budnus di depan teman-teman kelas 3A dan ibu Woro Aryandini.
BUDAYA SUKU DAYAK
1.       Sejarah
Pendapat mengenai asal-usul suku Dayak sangat bervariasi. Menurut pendapat umum, suku Dayak merupakan suku terbesar dan tertua yang telah mendiami tanah Borneo.
Menurut kepercayaan suku Dayak sendiri, nenek moyang mereka itu berasal dari langit yang ketujuh. Mereka diturunkan ke dunia dengan menggunakan Palangka Bulau (tandu suci yang terbuat dari emas). Mereka diturunkan dari langit ke dunia di empat tempat yaitu: di Tantan Puruk Pamatuan di hulu Sungai Kahayan dan Barito, di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting), di Datah Takasiang, hulu sungai Rakaui (Sungai Malahui Kalimantan Barat), dan di Puruk Kambang Tanah Siang (hulu Barito). Dari tempat–tempat tersebut kemudian tumbuh dan berkembang dalam tujuh suku besar yaitu: Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban  dan Hebab, Dayak Klemantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum.
Sedangkan menurut pendapat Michael Coomans, suku Dayak berasal dari daerah Yunnan di China Selatan. Mereka bermigrasi kira-kira pada tahun 3000-1500 SM. Pada buku sejarah Indonesia, kelompok ini dikenal dengan nama Proto Melayu.
2.       Lokasi
Suku Dayak menetap di pulau Borneo atau yang dikenal dengan nama Kalimantan. Mereka biasanya hidup di dekat sungai-sungai atau di hutan-hutan pedalaman Kalimantan.
3.       Perilaku khas
Masyarakat Dayak adalah masyarakat yang sangat memegang teguh harga diri. Mereka juga memiliki kekerabatan serta keterikatan yang kuat dengan tempat asal. Mereka agak pemalu terhadap pendatang tetapi mereka sangat menghargai orang lain. Selain itu mereka sangat menyatu dengan alam.
Tapi ada budaya yang sangat kejam yang mungkin sekarang sudah tidak lagi dilaksanakan. Budaya tersebut  adalah budaya ngayau. Ngayau merupakan budaya untuk mencari kepala manusia. Ketika kepala itu didapati maka keberanian, keperkasaan, kekuatan dan kehormatan akan diperoleh dengan seketika itu juga. Setiap orang Dayak yang mampu memperoleh kepala panglima suku atau orang yang terkuat dalam suku maka kekuatannya akan dapat diperoleh. Orang Dayak tersebut akan dikagumi sebagai panglima. Kepala panglima suku yang dipotong tadi akan dimakan dan tengkoraknya akan diawetkan. Kepala tersebut sampai sekarang masih digunakan untuk tarian Noto'gh. Yaitu menghormati/menghadirkan kepala manusia itu didepan umum pada saat selesai panen.
Perempuan suku Dayak dianggap cantik jika mereka memiliki telinga yang panjang serta bertatto di lengan, kaki, dan leher.
4.       Mata Pencaharian
Mata pencaharian yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak biasanya berhubungan dengan alam seperti berburu, menangkap ikan secara tradisional, dan meramu hasil hutan. Mata pencaharian paling khas yang dilaksanakan suku Dayak adalah berladang. Mereka memiliki cara berladang yang unik karena tidak ditemukan pada suku lain di Indonesia. Sistem itu biasa disebut sebagai sistem berladang berpindah. Sistem berladang tersebut dilaksanakan secara berkelompok. Biasanya oleh 12-15 orang.
Siklus pekerjaan ladang orang Kalimantan (Dayak) adalah sebagai berikut :
-          Pada bulan-bulan Mei, Juni atau Juli orang menebang pohon dihutan;
-          Setelah penebangan, batang-batang kayu, cabang-cabang, ranting-ranting serta daun-daun dibiarkan mengering selama kurang lebih dua bulan;
-          Setelah itu (Agustus atau Septembar) seluruhnya dibakar karena setelah itu musim hujan tiba, abu bekas pembakaran dibiarkan sebagai pupuk;
-          Setelah itu tibalah waktunya menanam, kira-kira bulan Oktober;
Di daerah tertentu pekerjaan ini dilakukan secara gotong-royong, para laki-laki berbaris dimuka sambil menusuk-nusuk tanah dengan tongkat tugalnya, sedangkan para wanita berbaris mengikuti di belakang, sambil memasukkan butir padi ke lubang yang sudah dibuat oleh para lelaki.
-          Pekerjaan selanjutnya yaitu merawat serta menjaga pertumbuhan bibit tersebut menjadi tanggungan rumah tangga masing-masing;
        Untuk keperluan ini, biasanya sebagian atau seluruh anggota keluarga berdiam di Dangau sampai selesai panen nanti.
-          Diantara bulan-bukan Pebruari dan Maret, tibalah musim panen
5.       Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan yang dianut suku Dayak adalah bilineal. Jadi mereka menarik garis keturunan dari pihak ayah dan ibu. Dalam sistem pewarisan pun mereka tidak membedakan antara anak lelaki dan perempuan.
Perkawinan yang ideal dan amat diingini adalah perkawinan diantara dua orang yang kakek–kakeknya adalah saudara sekandung. Disebut hajenan dalam bahasa Ngaju. Juga dua orang saudara sepupu yang ibu–ibunya bersaudara kandung, dan diantaranya cross–cousin.
Perkawinan yang dianggap sumbang (sala horoi, dalam bahasa Ngaju) adalah perkawinan saudara sepupu yang ayah–ayahnya adalah saudara sekandung (patri-parallel cousin).
Suku Dayak melarang perkawinan beda generasi, misalnya seorang gadis dengan orang tuanya.
Orang Dayak Kalteng tidak melarang gadisnya menikah dengan laki–laki “asing”(luar dayak) asalkan laki–laki tersebut bersedia tunduk pada adat dan bersedia terus diam di desa mereka.
6.       Pola pemukiman dan sistem kemasyarakatan
Sungai adalah hal yang sangat penting untuk pemukiman suku Dayak. Karena pola pemukiman masyarakat Dayak biasanya mengikuti alur sungai dan menghadap ke sungai. Bentuk rumah mereka biasanya adalah rumah panggung yang panjang dan bisa menampung banyak orang. Rumah itu disebut dengan Lamin dan Betang. Rumah Lamin dan Betang berbentuk panggung agar tidak terkena oleh serangan binatang buas dan aman dari banjir (karena rumah adat suku Dayak dekat dengan sungai).
Suku dayak memiliki sistem kemasyarakatan yang berlapis dan tiap suku memiliki nama sendiri-sendiri. Untuk di daerah Tampun Juah (merupakan tempat pertemuan dan gabungan bangsa Dayak yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic group) terbagi dalam tiga Statifikasi atau penggolongan masyarakat, yakni:
-          Bangsa Masuka/Suka (kaum kaya/purih raja), seseorang yang hidupnya berkecukupan atau kaya dan termasuk kerabat orang penting/purih Raja
-          Bangsa Meluar (kaum bebas/masyarakat biasa), seorang yang hidupnya menengah kebawah, tidak terikat masalah hutang piutang dengan orang lain, atau bebas
-          Bangsa Melawang (kaum Miskin/masyarakat biasa), kelompok orang yang hidupnya miskin dan terikat kontrak kerja, untuk membayar segala hutangnya sampai lunas dan tak mempunyai kewajiban hutang lainnya
7.       Agama dan kepercayaan
Agama yang dianut oleh masyarakat suku Dayak yaitu Islam, Kristen, Budha, dan Hindu Kaharingan. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Dayak pada awalnya adalah “Hindu Kaharingan” yang berarti “air kehidupan” (Koentjaraningrat, 1990). Suku Dayak yang beragama Hindu Kaharingan memiliki upacara kematian sendiri yang disebut upacara Tiwah. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk mengantarkan arwah orang yang telah meninggal ke Lewu Tatau (sorga).
Agama Islam mulai berkembang sejak abad ke-XV ketika kerajaan Hindu Mulawarman mengalami kemunduran. Agama Islam di Kalimantan berkembang dengan pesat terutama di daerah pesisir selatan mulai dari Balikpapan di Kalimantan Timur, Banjarmasin di Kalimantan Selatan hingga Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Orang Dayak yang memeluk Islam biasanya disebut sebagai orang Banjar.
8.       Kesenian
a.       Seni Tari
Tarian khas masyarakat Dayak diantaranya adalah tari perang/kancet papata, tari gantar, tari enggang, tari hudoq, dan masih banyak lagi yang lain (g apal).
b.      Seni musik
Alat musik yang biasa digunakan oleh suku Dayak diantaranya adalah gendang, kadire (Alat musik tiup yang terbuat dari pelepah batang pisang dan memiliki 5 buah pipa bambu yang dibunyikan dengan mempermainkan udara pada rongga mulut untuk menghasilkan suara dengung), gong, Sampe (Sejenis gitar atau alat musik petik dengan dawai berjumlah 3 atau 4), dan masih banyak lagi yang lain (g apal lagi.hehehe)
c.       Seni rupa
Masyarakat Dayak memiliki banyak kerajinan seni rupa. Biasanya dalam bentuk alat persenjataan. Diantaranya adalah mandau (golok khas dayak), kelambit (perisai khas dayak), anjat (tas khas dayak), dan sumpitan.
Selain yang di atas, suku Dayak juga sangat menyukai seni menggambar tubuh atau disebut juga seni tatto. Motif tatto di Dayak bermacam-macam. Biasanya juga menggambarkan status sosial orang tersebut. Selain itu seni tatto Dayak juga dikenal sebagai salah satu seni tatto yang tua karena caranya yang sangat tradisional dan menyakitkan.
9.       Kuliner
Karena suku Dayak memiliki sub suku yang bermacam-macam, maka suku Dayak pun mempunyai kekayaan kuliner yang sangat banyak. Kuliner yang terkenal yaitu soto banjar, pisang raja Pontianak (sejenis pisang goreng), sayur rotan, dan tuak (minuman keras khas Dayak).
10.   Konflik Dayak dengan suku lain
Konflik yang terkenal di media adalah konflik antara suku Dayak dengan suku Madura. Konflik ini timbul karena adanya pelanggaran adat yang dilakukan oleh suku Madura. Sebenarnya, kebanyakan konflik yang terjadi dengan masyarakat Dayak adalah ketidakpahaman suku pendatang dengan adat masyarakat Madura. Hal ini mulai terlihat sejak dimulainya transmigrasi besar-besaran yang dilaksanakan pada zaman pemerintahan presiden Soeharto. Pada saat itu banyak transmigran asal Jawa yang dikirim ke Kalimantan. Memang pemerintahan memberi bekal pengetahuan pertanian, peternakan, dan keahlian lain untuk hidup di tanah Borneo. Tetapi para transmigran tersebut tidak diberi pengetahuan lebih banyak tentang adat suku Dayak. Padahal sebenarnya mereka itu sangat pemalu dan menghargai suku lain. Akan tetapi karena sikap mereka yang sangat ketat terhadap adat akhirnya terjadilah konflik antar suku tersebut.
Selain masalah di atas, masalah kepemilikan hutan adat yang tidak jelas juga sangat riskan dan sangat rentan untuk menimbulkan konflik. Hal ini dikarenakan perilaku masyarakat Dayak yang sangat terikat dengan tempat asal dan mata pencaharian sebagian besar dari mereka yang melaksanakan ladang berpindah.