Kali ini saya akan membahas tentang suku terakhir yang saya
dan kelompok saya presentasikan pada saat makul Budaya Nusantara. Suku tersebut
adalah suku Papua. Suku yang berada di wilayah paling timur Indonesia. Mereka adalah
suku yang paling berbeda secara fisik dengan suku-suku lain di wilayah
Indonesia. Penampilan fisik mereka yang paling khas adalah berkulit hitam dan
berambut keriting. Namun, karena penampilan fisik mereka yang khas tersebut dan
keteguhan mereka dalam menjaga adat, banyak orang yang kurang menghormati
mereka. Sikap rasis ini mirip dengan konflik rasial antara kulit putih dan
kulit hitam yang terjadi di Amerika.
Mungkin selama ini kita mengetahui Papua hanya karena
koteka, tarian etniknya, perang antar suku, dan puncak Jaya. Itu masih sedikit
dari kebudayaan Papua yang sangat banyak. Saya akan mencoba sedikit
menjabarkannya dengan dasar presentasi kelompok saya dan tambahan sedikit dari
saya sendiri. Jika ada kesalahan, silahkan dikoreksi ya.
Budaya Papua
1.
Sejarah
Kata Papua dalam bahasa melayu artinya adalah rambut keriting. Pada saat
Papua masuk ke wilayah Indonesia (sebelumnya Belanda sempat mendudukinya pada
zaman setelah kemerdekaan), nama daerah tersebut sempat berubah menjadi Irian
yang menurut bahasa Merauke artinya adalah bangsa yang utama. Tapi ada juga
yang memelesetkannya menjadi Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Penduduk
asli yang mendiami pulau Papua sebagian
besar termasuk ras suku Melanesian, karena ciri-ciri seperti warna kulit,
rambut, warna rambut yang sama dengan penduduk asli di bagian utara, tengah dan
selatan yang memiliki ciri-ciri tersebut. Di bagian barat (Sorong dan Fak Fak)
penduduk di daerah pantai mempunyai ciri yang sama dengan penduduk di kepulauan
Maluku, sedangkan penduduk asli di pedalaman mempunyai persamaan dengan
penduduk asli di bagian tengah dan selatan.
Banyak teori tentang masuknya suku Papua di Indonesia. Teori pertama
menyatakan bahwa Papua adalah bangsa Proto-Melanesia yang masuk secara
bergelombang ke wilayah itu. Selanjutnya berdatangan pula Bangsa Asia
Paleo-Mongoloid dan bangsa-bangsa Negro serta Weddid ke Indonesia.
Teori kedua menyatakan bahwa bangsa Papua berasal dari migrasi yang
dilakukan oleh ras austroloid dari daerah australia pada waktu asia dan
australia masih bersatu dalam paparan sahul.
Sedangkan teori ketiga menyatakan bahwa suku Papua juga berasal dari ras
negroid yang berasal dari afrika. Para ahli memperkirakan mereka melakukan
migrasi pada tahun 2000 SM
2.
Lokasi
Suku Papua mendiami bagian barat pulau paling timur Indonesia yang diberi
nama Papua. Papua merupakan daerah yang sangat luas dengan kondisi geografis
yang bervariasi. Ada dataran rendah, pantai, sabana, bahkan tanah paling tinggi
di Indonesia ada di pulau ini. Hal itu yang menyebabkan beraneka ragamnya
budaya suku-suku di Papua.
3.
Tipe masyarakat
Tipe masyarakat Papua ada tiga. Yaitu:
a.
penduduk lembah-lembah di Pegunungan Tengah yang
hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan-hubungan keluarga luas. Mata
pencaharian hidup yang pokok adalah bercocok tanam ubi dan keladi di
ladang-ladang. Teknologi untuk membuat alat-alat hidup mereka masih asal zaman
batu. Contoh masyarakat tipe ini adalah orang Dani.
b.
penduduk desa-desa di bagian pedalaman di daerah
hulu sungai-sungai, biasanya hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan
keluarga-keluarga luas (rata-rata 10-15 individu). Mata pencaharian mereka
adalah meramu sagu dan berburu. Berburu dan mencari ikan di sungai merupakan
pekerjaan sambilan. Contoh dari masyarakat ini adalah penduduk danau-danau,
Papua bagian Utara.
c.
penduduk desa-desa di hilir dan muara-muara
sungai dan penduduk pantai serta penduduk kepulauan. Mereka ini hidup dalam
rumah-rumah kecil dalam hubungan keluarga-keluarga batih kecil yang bersifat
amat individualistis. Mata pencaharian hidupnya adalah meramu sagu, berburu,
berkebun dan mencari ikan dipantai atau di laut. Contoh masyarakat ini adalah
penduduk Pantai Utara.
4.
Mata pencaharian
Untuk suku Papua yang masih di pedalaman, kebanyakan suku Papua bekerja
sebagai nelayan, meramu sagu, berburu, berkebun, dan bekerja di produksi kopra
rakyat.
5.
Sistem kemasyarakatan dan agama
a. Sistem Masyarakat Tor atau Bgu
mengenal beberapa tokoh adat
diantaranya :
-
Dmartemtua atau dmar, tokoh adat ini bertugas
memelihara benda-benda suci yang di simpan di dalam nar atau belai-balai
keramat dan memimpin upacara-upacara keagamaan yang ada sangkut pautnya dengan
pemeliharaan benda-benda suci tersebut.
-
Ondowafi, tokoh adat ini tugasnya mengawasi
pembukaan tanah ulayat oleh pengembang menyaksikan transaksi tanah atau
hutan–hutan sagu dan sebagainya.
-
Korano, tokoh adat ini dianggap sebagai orang
yang bertugas meneruskan perintah dan instruksi dari pemerintah, tokoh adat ini
harus bisa membaca dan berpengalaman berhubungan dengan orang luar.
b. sistem masyarakat dani
Suku Dani tinggal dalam
kelompok-kelompok yang masih memiliki hubungan kekerabatan dalam sebuah
usilimo/sili. Beberapa sili yang berdekatan biasanya memiliki kedekatan
hubungan kekerabatan. Kelompok sili yang terbentuk karena hubungan darah atau
yang terbentuk atas dasar persatuan teritorial dan politik membentuk
kampung. Kampung dipimpin oleh seorang Kepala Suku didampingi seorang
Panglima Perang.
Teritorial permukiman Suku Dani
terbagi atas tiga wilayah. Daerah terluar adalah hutan di bawah “kewenangan
pengelolaan” suatu suku. Batas pengelolaan kedua adalah ladang. Yang ketiga
adalah Usilimo/sili merupakan zona inti permukiman Dani, yang dihuni oleh
sebuah keluarga. Usilimo terbentuk dari hutan yang sudah dibuka, diolah dan
ditata menurut jalinan potensi alam dan sosial budaya lokal.
Sebagian besar penduduk Papua
adalah pemeluk agama Kristen. Namun selain agama Kristen ini, penduduk Papua
juga ada yang memeluk agama Islam ataupun Katolik. Sebuah pulau yang terletak di teluk Doreh, selatan
Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat menjadi sebuah titik penting
penyebaran agama Kristen di Papua. Pulau tersebut bernama pulau Mansinam. Sedangkan
agama islam banyak dianut oleh penduduk asli papua di daerah fakfak dan sorong.
6.
Pernikahan
Orang Papua (Biak) mengusut keturunannya melalui garis ayah, jadi
bersifat patrilineal. Sedangkan tipe pokok kekerabatan yang dianut menuurut
pembagian yang dibuat oleh Murdock adalah sistem Iroquois, yaitu penggunaan
satu istilah yang sama untuk menyebut kelas kerabat tertentu. Misalnya istilah naek digunakan untuk saudara-saudara
kandung dengan sudara-saudara sepupu paralel (anak-anak saudar laki-laki ayah,
dan anak-anak dari saudara perempuan ibu), yang berbeda dari istilah napirem untuk menyebut semua saudara
sepupu silang (anak-anak dari saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara
laki-laki ibu) pada generasi Ego. Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah
disebut juga dengan istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu disebut,
sna. Sebaliknya semua saudara perempuan ayah disebut bibi, dan semua saudara
laki-laki ibu disebut paman.
Dalam kaitannya dengan pengklasifikasian anggota kerabat seperti tersebut
di atas adalah adanya larangan perkawinan antara saudara-saudara sepupu, baik
saudara-saudara sepupu sejajar maupun saudara-saudara silang. Larangan tersebut
merupakan ketentuan adat yang menetapkan perkawinan tersebut sebagai perkawinan
incest.
Jenis-jenis pernikahan adat di Papua adalah sebagai berikut:
a.
Perkawinan Murni (Farbakbuk Bekaku)
Jenis perkawinan ini
dipandang sangat terhormat dikalangan masyarakat biak karena memenuhi
syarat-syarat utama norma adat byak. Terdapat penonjolan harta kekayaan ,
kemampuan memberi mas kawin, disiplin dalam soal tepat waktu melunasi maskawin
dalam pelaksanaan pesta perkawinan adat yang bersangkutan.
b.
Kawin Lari ( Parbakbuk Bebur)
Jenis perkawinan ini
terlaksana sebagai wujud dari niat seorang laki-laki / atau perempuan tidak
direstui oleh pihak keluarga karena pihak keluarga mempunyai calon lain diluar
keinginan kedua orang tersebut. Bila terjadi seperti itu, maka wanita yang mengambil
keputusan lari kawin disebut Farbakbuk Bin Berbur perempuan yang lari kawin).
Sebaliknya kalau wanita (perempuan) tidak berani lari kawin, maka laki – laki
yang mengambil inisiatif merampas wanita tersebut dari keluarganya disebut
Farbakbuk Pasposer ( perkawinan karena perampasan), Perkawinan adat, jenis ini
prosedurnya jauh berbeda dengan proses perkawinan tersebut diatas karena
sifatnya terpaksa dan mengundang emosi keluarga pihak perempuan, maka biasanya
maskawin yang diminta oleh pihak perempuan pun mahal (Dua kali lipat) karena
sanksi adat.
c.
Perkawinan Pergantian Tungku (Farbakbuk
Kinkafsr)
Jenis perkawinan ini dapat
di setujui kalangan masyarakat adat Biak untuk diberlakukan khusus bagi
seseorang laki-laki yang apabila istri pertamanya telah meninggal, maka adik
kandung yang sudah genap usia kawin, dibenarkan kawin dengan kakak iparnya agar
hubungan kekeluargaan yang ada tetap berlangsung terus. Proses perkawinannya,
biasanya tidak diacarakan tetapi langsung menjadi istri (Suami – Isteri) artinya
cukup dengan mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga yang bensangkutan
dan maskawinnya terserah dan kepada kemampuan pihak keluarga laki-laki dan
tidak dipaksakan.
d.
Perkawinan Pengganti Korban Pembunuhan
(Farbakbuk Bin Babyak)
Jenis perkawinan ini dikalangan
masyarakat Biak termasuk perkawinan luar biasa.Karena wanita diberikan oleh
keluarga pihak pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang menjadi korban
sebagai pengganti dengan maksud agar wanita tersebut kelak dalam perkawinannya
melahirkan seorang anak sebagai pengganti korban dan selain dari itu berfungsi
sebagai alat perdamaian dan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan diantara
kedua keluarga yang bersangkutan serta menghilangkan dendam kusumat. Proses
perkawinan adat ditiadakan termasuk maskawinnya dengan catatan bila dikemudian
hari bila melahirkan seorang anak wanita dan ada maskawin, maka maskawinnya
separuh / sebagian diberikan kepada keluarga korban sebagai tanda.
e.
Perkawinan Hadiah Perampasan Sebagai Budak
(Tarbakbuk Women)
Jenis perkawinan ini ada
pada masyarakat Biak tempo dulu.
Sekarang sudah tidak ada lagi, dan mungkin sekali masih terdapat
dikalangan masyarakat didaerah terpencil dipedalaman Papua atau didaerah-daerah
terisolir pada lembah-lembah barisan pegunungan tengah Papua. Jenis perkawinan
ini dikalangan masyarakat byak “tempo doeloe” terjadi bila marga-marga disuatu
kampung menyerang kampung lain karena suatu sebab khusus, sebab khusus itu
antara lain: Kampung itu pernah diserang
oleh kampung yang bersangkutan (Balas dendam). Kampung yang bersangkutan
dicurigai sebagai mata-mata yang memudahkan kampung mereka diserang. Kampung
yang bersangkutan dinilai berpeluang potensi ekonomis. Kampung yang
bersangkutan dinilai letaknya strategis guna mengatur teknik penyerangan dan
darat maupun dan laut.
Proses pernikahan tiap suku pun berbeda-beda. Di sini saya mengambil dua
contoh. Yaitu suku Biak dan Dani.
a.
Biak
-
PEMINANGAN (FAKFUKEN)
Pada
tahap awal ini paman dan tante dan anak laki-laki calon suami melakukan
pendekatan dengan keluarga pihak perempuan calon istri untuk menyampaikan niat
keluarga laki-laki dan aturannya harus 3 (tiga) kali datang meminang.
-
MASKAWIN (ARAREM)
Setelah
melalui tahap peminangan adalah
penentuan besarnya maskawin pada masyarakat biak yang disesuaikan dengan
beberapa kriteria yaitu: Jumlah besar atau kecilnya keluarga perempuan, Status
sosial yang disandang keluarga perempuan, dan Kecantikan / kepribadian/
perawan.
-
PROSES PENYERAHAN MASKAWIN (YAKYAKER ARAREM).
Pada
tahap ini maskawin diantar kekeluarga perempuan melalui suatu upacara arak-arakan
yang disertai tari dan lagu Penyerahan maskawin dibagi dalam 2 (Dua) bagian
yaitu: Bagian I dari Om / Tante / Familie dalam satu barisan tersendiri yang
bertanggung jawab menyerahkan bagian dari maskawin yang disebut “Abobes Kapar”
(Lepas pendong) kepada ibu kandung dan anak perempuan. Bagian II terdiri dari
maskawin “Baken” (Inti) berada dalam satu barisan yang terdiri anggota keret /
anggota keret lain yang terkait hubungan kekerabatan.
-
PERNIKAHAN (WAFWOFER)
Sebelum
menikah ada proses upacara inisiasi (Ramrem), untuk mendapatkan restu keluarga
(Legalitas). Setelah tahap ini, kedua mempelai laki-laki dan perempuan
dipersatukan dan upacara penikahan ( Waiwofer) diberlakukan oleh sesorang tua
adat / keret atau oleh seseorang mananwir (Kepala keret / marga / clen) dengan
cara meniup asap rokok keatas tangan calon suami-isteri yang sedang berjabat
tangan sambil mengucapkan kata-kata pengukuhan nikah adat di hadapan kedua
calon suami-isteri, dihadapan keluarga kedua pihak dan disaksikan “TUHAN DI SORGA”
DAN BUMI YANG DIPIJAK, nikah adat ( Wafwofer) ini dinyatakan sah dan tidak
dibenarkan untuk dibubarkan oleh siapapun dengan alasan apapun.
-
UPACARA PENYERAHAN PEREMPUAN (CALON ISTERI)
KEPADA LAKI-LAKI (CALON SUAMI) (YAKYAKER).
Keluarga
membawa pulang istri kembali kerumah, kemudian keluarga pihak perempuan sudah
menyiapkan harta benda keluarga / keret berupa “Perabot rumah tangga” sebagai
oleh – oleh perempuan, lalu upacara penyerahan kembali perempuan oleh keluarga
perempuan kepada suami , proses ini disebut “Yakyaker tahap pertama (I).
Biasanya tahap ini berlangsung cepat dan tidak perlu diadakan pesta khusus lagi
dan dengan demikian maka istri tersebut secara resmi menjadi milik laki-laki
Suami dan keluarganya untuk selama-lamanya dengan status isteri sah.
-
UPACARA PESTA ADAT (WOR)
Tahapakhir
dari proses perkawinan (Farbakbuk) adat biak yang dilalui setelah “rumah tangga
baru” ini berlangsung beberapa waktu lamanya. Biasanya kedua pasang
suami/isteri sudah mendapat anak-anak maka kepada Suami dan keluarganya wajib
memberi ongkos tertentu berupa “makanan dan minuman” khas biak (keladi , bete,
petatas, sayuran, ikan, daging babi, dan lain-lain sejenis) serta pula benda
berharga lain.
b.
Dani
-
Lamaran oleh ayah namun saudara-saudaranya yang
menyampaikan kata-kata penerimaan lamaran itu.
-
PESTA BABI
Kira-kira satu bulan sebelum pesta itu keluarga pemuda menghadiahkan
beberapa ekor babi kepada saudara gadis itu; babi-babi itu kemudian diteruskan
kepada saudara ibu gadis itu. Sisanya akan disembelih pada hari-hari pesta itu.
-
Pemimpin mengambil sepotong kecil daging babi
dan membuat suatu garis di antara payudara gadis itu. Dia menyebutkan beberapa
jenis udang, yang selama pesta itu tidak boleh dimakan oleh gadis itu. Kemudian
dengan sebuah batu panas dia menyentuh daging, yang sudah ditentukan untuk
gadis itu guna mencegah dia jangan sampai menjadi sakit.
Kalau makanan sudah masak maka berlangsunglah penyerahan hadiah-hadiah
kepada gadis-gadis itu di halaman di depan rumah kaum pria; hadiah-hadiah itu
ditumpangkan di kepala gadis-gadis itu, sampai-sampai mereka seperti tertimbun
hadiah-hadiah itu.
-
Sebagian dari daging, yang bercucuran tetesan
lemak ditaruh di muka gadis-gadis yang duduk berkeliling di dalam dapur. Daging
itu lalu dipotong-potong dan diberi kepada ayah para mempelai perempuan dan
para pemberi jala-jala dan pita-pita dengan menyebutkan nama-nama mereka.
Menjelang malam hari gadis-gadis itu memakai tali manik-manik yang ketat yang
menjadi penutup aurat dan menerima tongkat penggali yang baru. Mulai sekarang
mereka disapa dengan perkataan "wanita yang sudah menikah".
-
Mempelai diarak ke rumah ibu suaminya. Beberapa
saat kemudian para pengantar kembali ke rumah. Baru beberapa hari kemudian
suaminya datang. Mereka duduk bersama-sama, saling memberi makan dan dengan itu
terbukalah peluang untuk adanya hubungan yang intim.
7.
Upacara kematian
a.
Upacara Kematian Masyarakat Tor atau Bgu
Masyarakat pantai utara
percaya bahwa jiwa orang mati akan melepaskan dari tubuh menjadi roh secara
berangsur-angsur. Dalam proses itu ia masih berada di sekitar rumah tepat
tinggalnya. Itulah sebabnya keluarga orang yang meninggal diasingkan dalam
rumah supaya tidak menulari masyarakat sekitar dengan nuansa kematian dari
orang yang meninggal itu. Setelah kepka lepas, maka ia akan pergi ke alam baka
yang dipercaya berupa suatu gunung yang bernama gunung Tardongasau.
b.
Upacara Kematian Masyarakat Dani
Menurut adat masyarakat suku
Dani, jenazah orang yang meninggal tidak dikuburkan, namun dikremasi atau
dibakar dengan upacara adat. Upacara adat ini biasanya berlangsung selama 40
hari, yang dilakukan di halaman Sili atau di depan Pilamo.
Sebelum dibakar famili
terdekat memotong jari dan telinga sebagai tanda berkabung, dan nanti
dikumpulkan bersama-sama abu jenazah yang dibungkus dengan kulit kayu, kemudian
digantung. Pembakaran mayat sampai kini masih berlaku, kecuali pemeluk agama
Kristen. Mereka menanam abu jenazah ke dalam lobang yang digali di tempat itu
juga dan sekitarnya ditanami bunga-bungaan.
Selama upacara adat ini
berlangsung, sejumlah hewan dikorbankan kemudian bagian ekor dan telinganya
dipotong dengan sebilah bambu, yang kemudian ditempatkan di dalam Honai,
sebagai simbol dari leluhur (sumber kehidupan, kebudayaan, kesuburan dan
keselamatan).
Tubuh mereka dibaluri dengan
tanah liat merah, sebagai tanda duka yang dalam atas berpulangnya orang yang
mereka cintai.
Ada
pula yang diawetkan dijadikan mumi. Biasanya hanya orang-orang tertentu yang
berhak dimumikan. Seperti orang yang dianggap pahlawan, karena banyak berjasa
dalam perang antar suku sepanjang hidupnya. Bisa jadi mereka adalah kepala suku
atau panglima perang.
8.
Upacara Barapen (bakar batu)
Upacara ini dilaksanakan dalam acara-acara adat mulai dari simbol
perdamaian saat terjadi perang antar suku sampai peresmian gedung dan pesta
adat lainnya
Prosesnya:
-
Batu dibakar hingga panas
-
Batu yang sudah panas dimasukkan dalam lubang
yang sudah dialasi daun pisang,lalu ditutup dengan daun pisang lagi, lalu bahan
makanan dimasukkan, ditutup dengan daun pisang,lalu ditaruh batu lagi di
atasnya
-
Setelah matang, makanan dibagikan dan dimakan
bersama
9.
Pakaian adat
Suku Papua memiliki rumah adat yang bernama honai. Di dalam rumah adat
tersebut, satu keluarga tinggal bersama hewan peliharaannya (babi). Bangunan
honai berbentuk silinder diperuntukkan sebagai tempat ngeriung (di lantai
bawah) dan tidur (di lantai atas). Berpintu satu dan memiliki perapian di
tengah-tengah sebagai penghangat ruangan. Baik lantai atas maupun bawah
ketinggiannya tidak sampai setinggi orang dewasa sehingga penghuni dewasa harus
berjalan dengan membungkuk. Untuk menuju lantai atas disediakan tangga.
Satu-satunya penerangan hanyalah bara perapian. Bentuk bulat honai dimaksudkan
untuk menahan terpaan angin yang kencang dan gempa yang sering menimpa daerah
Jayawijaya.
Selain rumah adat, pakaian suku-suku di Papua juga khas. Kebanyakan berbentuk
cawat untuk menutup aurat laki-laki maupun perempuan. Sedangkan sebagai bra,
biasanya mereka membuatnya dari anyaman daun sagu muda yang disebut peni atau
samsur. Tali pengikatnya dibuat dari akar pandan, disebut tali bow. Dan peni,
dahulu, hanya dipakai oleh istri panglima perang. Yang paling khas lagi adalah
suku Dani. Untuk kaum lelakinya, mereka hanya mengenakan penutup kemaluan yang
disebut dengan nama koteka. Koteka dibuat dari kalabasah, sejenis labu Cina. Ada
tiga pola penggunaan koteka, yaitu tegak lurus: menandakan bahwa pemakainya
adalah "pria sejati". Makna simbolik lainnya mengisyaratkan, pria
yang memakainya masih perjaka. Jika koteka tersebut miring ke samping kanan
memiliki makna simbol kejantanan, bermakna bahwa penggunanya adalah pria gagah
berani, laki-laki sejati, pemilik harta kekayaan yang melimpah, memiliki status
sosial yang tinggi atau mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. Miring ke kanan
menandakan kekuatan bekerja, keterampilan memipin, dan pengayom rakyat. Sedangkan,
jika miring ke samping kiri memiliki makna pria dewasa yang berasal dari
golongan menengah dan memiliki sifat kejantanan sejati. Juga menunjukkan
pemakainya adalah keturunan Panglima Perang (apendabogur).
Selain itu, suku Papua juga memiliki tas khas yang telah diresmikan PBB
sebagai salah satu warisan dunia yaitu noken.
10.
Tari dan musik
Papua memiliki beberapa tarian tradisional. Tarian yang mereka miliki
diantaranya adalah tari perang, tari yosi pancar, tari gatsi, dan tari ular.
Sedangkan untuk produk budaya dalam bidang musik, mereka mempunyai alat
musik yang khas seperti tifa, harpa
mulut(terbuat dari bahan bambu. Dibuat dua lubang irisan sepanjang sepotong
batang bambu sampai di bagian simpulnya. Lubang irisan di tengah adalah yang
terpendek dan tersempit. Bagian sisi harpa yang tersempit digulung dengan tali
serat, mungkin serat kulit kayu, agar keseluruhan alat tetap utuh tak
berantakan. Pada sisi harpa yang terlebar terpasang seutas tali pendek untuk
menghasilkan nada-nada bervariasi. Harpa mulut ditempatkan di mulut dan harus
ditiup untuk menghasilkan bunyi. Di masa lampau fungsi sebuah harpa mulut
adalah untuk memberitahukan kepada seorang gadis bahwa dia sedang digemari),
dan sneelhorn (terompet khas Papua). Mereka
juga memiliki lagu daerah yang sangat terkenal dan bahkan sudah tersebar di
seluruh Indonesia. Diantaranya adalah apuse
dan yamko rambe yamko.
11.
Perang
Berbicara tentang budaya Papua, berarti berbicara tentang perang. Karena perang
antar suku merupakan budaya yang bisa dibilang lumrah terjadi di Papua. Perang biasanya
terjadi karena pelanggaran adat atau karena babi. Dalam budaya Papua, babi
merupakan hewan peliharaan yang hampir pasti tiap rumah memilikinya. Jika babi
milik satu sudah terlalu banyak dan babi suku tersebut ketahuan berada di
wilayah suku lain, mereka bisa saja berperang karena hal tersebut. Dan jika
mereka sudah berperang, jumlah korban tiap suku harus sama. Jika jumlah korban
tetap tidak sama dan dicapai kesepakatan damai, mereka biasanya berkumpul
bersama untuk melaksanakan upacara bakar batu/barapen. Dalam upacara tersebut, babi-babi tersebut akan dibakar
sehingga jumlah babi pun berkurang.
Karena perang menjadi budaya orang Papua, maka seni persenjataan adalah
hal yang pasti berkembang. Senjata-senjata yang mereka gunakan biasanya adalah
tombak, panah, dan belati.
12.
Kuliner
Kuliner paling khas dari Papua adalah papeda.
Papeda atau bubur sagu, merupakan
makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua. Makanan ini terdapat di hampir semua
daerah di Maluku dan Papua. Papeda dibuat dari tepung sagu. Papeda biasanya disantap bersama kuah
kuning, yang terbuat dari ikan tongkol atau ikan mubara dan dibumbui kunyit dan
jeruk nipis. Mayoritas makanan Papua adalah olahan ikan sesuai lokasinya yang
dekat laut.
13.
Isu Papua saat ini
Papua saat ini memiliki banyak isu yang harus diluruskan. Isu-isu
tersebut diantaranya adalah:
a.
Separatisme
Akar separatisme di Papua adalah
ketidakadilan. Sebagaimana penyebab separatisme di tempat lain, ketidakadilan
distribusi pendapatan adalah hal yang sangat jelas terlihat di Papua. Seperti yang
kita tahu, Papua adalah tanah yang kaya. Hal ini terlihat dengan makmurnya
Freeport yang telah lama bercokol di Tembagapura. Freeport semakin kaya tapi
masyarakat di sekitar daerah tersebut malah tidak ada kelihatan makmurnya. Efek
dari penambangan tersebut adalah rusaknya ekosistem alam di sekitar area
penambangan tersebut. Padahal orang Papua biasa mencari nafkah di sekitar area
penambangan tersebut seperti dengan berburu atau mencari ikan. Tapi karena
rusaknya hal tersebut, akhirnya mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah yang
memicu timbulnya separatisme di Papua.
Selain hal di atas, ada juga yang beropini
bahwa separatisme tersebut sengaja ditimbulkan oleh Amerika. Karena dengan
terpisahnya Papua dari Indonesia, Amerika akan semakin mudah untuk mengontrol
kekayaan alam Papua.
b.
Kesehatan
Kesehatan masyarakat Papua termasuk yang
buruk di Indonesia. Hal tersebut merupakan dampak modernisasi lingkungan
seksual Papua di antaranya komersialisasi hubungan seksual, konsep dan perilaku
baru, perubahan struktur perkawinan dan tanggungjawab keluarga. Efek
modernisasi menyebabkan seks komersial lebih tersebar luas melalui mobilitas ke
kota. Ini didorong hal-hal baru seperti film porno dan minuman keras. Sebuah
penelitian yang dikomandoi Lesslie Butt Ph.d, seorang peneliti Aksi Stop AIDS
Family Health International (ASA/FHI) bekerja sama dengan United State Agency
for International Development (USAID) dan Lembaga Penelitian Universitas
Cendrawasih menggali hubungan antara rata-rata infeksi HIV/AIDS dan kebudayaan dan
perubahan sosial di Papua. Alasannya sejumlah penelitian menyebutkan bahwa 97
persen faktor penyebaran HIV/AIDS di Papua melalui hubungan seksual. Propinsi
ini memiliki prevalensi kasus HIV/AIDS paling tinggi di Indonesia.
Selain karena modernisasi lingkungan seksual
tersebut, adat khas Papua yang berkaitan dengan perang dan darah (seperti saat
pesta pernikahan atau kematian) juga berpengaruh. Karena seperti yang kita tahu
bahwa AIDS maupun HIV bisa menular melalui darah.